Elshinta.com - 20 tahun lalu, tepatnya pada tanggal 18 Februari 2001, konflik Sampit pecah. Ini adalah tragedi berdarah yang menelan banyak korban di masa orde reformasi dimulai.
Konflik ini dimulai di kota Sampit, Kalimantan Tengah dan meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka Raya.
Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga migran Madura dari pulau Madura. Konflik tersebut pecah pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak.
Konflik Sampit pada 2001 bukanlah insiden yang terisolasi, karena telah terjadi beberapa insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura. Konflik besar terakhir terjadi pada Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas.
Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia.
Tahun 2000, transmigran membentuk 21 persen populasi Kalimantan Tengah. Suku Dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin agresif. Aturan-aturan baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi ini seperti perkayuan, pertambangan dan perkebunan.
Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001. Satu versi mengklaim bahwa ini disebabkan serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman Madura.
Sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak selama konflik ini. Suku Dayak memiliki sejarah praktik ritual pemburuan kepala (Ngayau), meski praktik ini dianggap musnah pada awal abad ke-20.