Perubahan Iklim Bisa Memicu Penyebaran Wabah Seperti Cacar Monyet dan Virus Ensefalitis Jepang
Elshinta
Selasa, 21 Juni 2022 - 15:13 WIB | Penulis : Mitra Elshinta Feeder
Perubahan Iklim Bisa Memicu Penyebaran Wabah Seperti Cacar Monyet dan Virus Ensefalitis Jepang
ABC.net.au - Perubahan Iklim Bisa Memicu Penyebaran Wabah Seperti Cacar Monyet dan Virus Ensefalitis Jepang

Di dunia yang sangat peka terhadap penyakit setelah lebih dari dua tahun pandemi global, kemunculan wabah baru selalu menjadi berita utama.

Pada saat dunia masih bergulat dengan COVID-19, kita harus memahami gejala dan risiko yang terkait dengan sejumlah penyakit baru lainnya.

Contohnya virus ensefalitis Jepang (Japanese Encephalitis Virus atau JEV), yang pertama kali ditemukan awal tahun ini.

Virus yang dibawa oleh nyamuk ini memang masih jarang, namun tetap menimbulkan kewaspadaan.

JEV hanya salah satu contoh dari tantangan kesehatan masyarakat yang menurut para ilmuwan akan semakin meningkat saat iklim dunia terus menghangat.

"Tidak semuanya berada pada level yang sama dengan COVID-19. Tetapi frekuensi kejadian pandemi pasti meningkat," ujar Paul De Barro, peneliti dari lembaga penelitian Australia CSIRO.

Penyakit yang disebarkan oleh nyamuk

Rumusnya jelas: aktivitas manusia telah menghangatkan dunia sekitar 1 derajat Celcius sejak zaman pra-industri. Bersamaan dengan itu datang peristiwa cuaca yang lebih ekstrem dan tak terduga.

Salah satu tantangan besarnya adalah penyakit yang ditularkan melalui vektor. Contohnya malaria, demam berdarah dan JEV, yang vektornya adalah nyamuk.

"Sederhananya, vektor bekerja lebih baik di iklim yang lebih hangat," demikian disebutkan dalam laporan penelitian tahun 2020 yang dimuat oleh Jurnal Nature Immunology.

JEV telah hadir di wilayah utara Australia seperti Kepulauan Tiwi dan Cape York selama bertahun-tahun, tetapi tidak pernah terdeteksi di wilayah selatan sampai tahun ini.

Kebanyakan pengidapnya tidak mengalami gejala, hanya sekitar 1 persen mengalami demam dan sakit kepala. Dalam kasus yang jarang dan parah, penyakit ini dapat menyebabkan pembengkakan otak. Setidaknya lima kematian di Australia dikaitkan dengan hal ini.

"Peningkatan curah hujan yang menyebabkan banjir dapat menciptakan prasyarat untuk vektor utama JEV," kata Dr De Barro.

"Ada dua komponen tambahan — peningkatan curah hujan dan burung air yang merupakan inang perantara virus, begitu pula babi liar," katanya.

"Jadi, sumber virus menjadi lebih besar dan lebih banyak nyamuk yang dapat menyebarkannya," kata Dr De Barro.

Skenario seperti ini telah diperingatkan oleh para ilmuwan sejak dua dekade silam.

Badan iklim dunia, Panel Lintas Negara tentang Perubahan Iklim (IPCC), telah menemukan bahwa prevalensi penyakit yang ditularkan melalui vektor sudah meningkat dan bisa memburuk.

Ada faktor lain yang berperan dalam penyebaran penyakit, seperti tingkat vaksinasi, pengendalian serangga, karantina, dan bahkan praktik pertanian.

Para ilmuwan ingin menjelaskan bahwa perubahan iklim bukanlah satu-satunya penyebab.

"Jika ada bagian vektor nyamuk dari siklus itu, maka nyamuk tersebut mungkin hidup seminggu lebih lama dalam setahun," jelas Profesor Nicholas Osbotne dari Universitas Queensland.

Secara historis, Australia telah berhasil mengelola risiko penyakit mematikan yang dibawa nyamuk, seperti malaria dan demam berdarah.

Tapi hal itu mungkin menjadi lebih sulit akibat terjadinya perubahan iklim.

Virus yang disebarkan oleh hewan 

Virus baru lainnya yang telah mendarat di Australia tahun ini adalah cacar monyet, yang menyebabkan gejala seperti flu dan ruam kulit yang khas setelah terjadi kontak antarmanusia.

Sekali lagi, penting untuk dicatat bahwa merebaknya virus bukanlah penyebab kepanikan.

Perubahan iklim adalah salah satu faktornya — meningkatnya jumlah wabah dapat sebagian disebabkan oleh menurunnya tingkat kekebalan terhadap virus cacar.

Virus tersebut dikenal sebagai penyakit zoonosis, yang disebabkan oleh kuman yang berpindah dari hewan ke manusia, kemudian menyebar di antara manusia.

Semua bukti menunjukkan COVID-19 memiliki asal-usul zoonosis.

Menurut laporan penelitian yang diterbitkan pada Jurnal Nature bulan April lalu, saat ini terdapat 10.000 virus yang beredar pada mamalia liar dan memiliki kapasitas untuk menginfeksi manusia.

Disebutkan, potensi penularan lintas spesies meningkat seiring perubahan iklim dan kedatangan manusia ke daerah di mana terjadi interaksi dengan hewan yang dulunya terisolasi secara geografis.

"Apa yang kami lihat saat ini adalah peningkatan frekuensi kejadian," kata Dr De Barro.

"Jadi katakanlah dalam 20 tahun terakhir, jauh lebih banyak wabah yang terkait dengan penyakit zoonosis daripada 20 tahun sebelumnya," tambahnya.

Ini mencakup pandemi flu babi, yang disebabkan oleh virus H1N1, dan wabah flu burung yang disebabkan oleh virus H5N1.

Salah satu temuan kunci laporan Jurnal Nature pada April lalu menyebut perubahan iklim dapat dengan mudah menjadi kekuatan dominan dalam transmisi virus lintas spesies yang akan berdampak pada kesehatan manusia dan risiko pandemi.

Dikatakan, di dunia yang telah melewati pemanasan global 1 derajat Celcius, sebagian besar penyebaran virus lintas spesies mungkin telah terjadi.

Dr Mike Ryan dari Organisasi Kesehatan Dunia WHO memperingatkan kondisi cuaca yang berubah cepat seperti kekeringan yang diperburuk oleh perubahan iklim, menyebabkan perilaku hewan dan manusia berubah.

Dr Ryan menunjuk wabah cacar monyet baru-baru ini, tren peningkatan kasus demam Lassa, disebarkan oleh tikus Afrika, dan peningkatan frekuensi wabah Ebola.

"Jadi, penyakit-penyakit ini akan terus muncul, mereka akan terus menekan, mereka akan terus melewati batasan spesies,” katanya.

"Pertanyaannya adalah: apakah kita dalam posisi untuk meresponnya secara kolektif?" katanya.

Kesempatan beradaptasi

Saat Bumi menghangat, kita harus siap menghadapi dampak kesehatan langsung yang disebabkan oleh suhu panas tersebut.

"Suhu panas akan mempengaruhi kesehatan kita dengan berbagai cara," kata Dr Osborne dari Universitas Queensland.

IPCC memperkirakan perubahan iklim akan menyebabkan sekitar 250.000 kematian tambahan per tahun, dari malnutrisi, malaria, diare, dan stres akibat suhu panas, antara tahun 2030 dan 2050.

Australia mungkin awalnya bisa lolos dari risiko ini tapi tidak akan sepenuhnya terhindar.

Namun ada secercah optimisme, di saat para ilmuwan berusaha menemukan cara untuk mengurangi risiko kesehatan dari perubahan lingkungan, termasuk jaringan HEAL Australia yang baru dibuat, di mana Dr Osborne menjadi anggotanya.

Laporan IPCC menemukan bahwa dunia sudah memiliki alat yang tersedia untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5C. Tapi hal itu mensyaratkan adanya "perubahan transformasional".

"Aksi iklim yang dilakukan di banyak negara sangat menjanjikan. Ada kebijakan, peraturan, dan instrumen pasar yang terbukti efektif," kata Ketua IPCC Hoesung Lee.

"Jika ditingkatkan dan diterapkan lebih luas dan adil, hal ini dapat mendukung pengurangan emisi yang besar dan mendorong inovasi," katanya.

Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC Science.

DISCLAIMER: Komentar yang tampil sepenuhnya menjadi tanggungjawab pengirim, dan bukan merupakan pendapat atau kebijakan redaksi Elshinta.com. Redaksi berhak menghapus dan atau menutup akses bagi pengirim komentar yang dianggap tidak etis, berisi fitnah, atau diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan.
Baca Juga
 
Populasi India Diprediksi akan Lampaui China, Menjadikannya Negara Terpadat di Dunia 2023
Kamis, 14 Juli 2022 - 09:09 WIB
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan, populasi India akan melampaui China pada 202...
Terkait Manuver China di Pasifik, Menhan Australia Peringatkan Koalisi AS-Australia Tidak Bisa Tinggal Diam
Kamis, 14 Juli 2022 - 09:09 WIB
Menteri Pertahanan Australia, Richard Marles, menyerukan kerja sama yang lebih erat dengan Amerika S...
Kisruh Dugaan Penyelewengan Dana ACT, Ini Tanggapan Pengelola Dana Kompensasi Korban Boeing
Kamis, 14 Juli 2022 - 09:09 WIB
Senin dan Selasa kemarin (12/07) Bareskrim Polri telah memeriksa mantan pemimpin organisasi filant...
Kapal Selam Nuklir China Terus Membuntuti Kapal Perang Australia karena Dituding Memasuki Wilayahnya
Kamis, 14 Juli 2022 - 09:09 WIB
Departemen Pertahanan Australia menolak untuk menjelaskan pertemuan kapal perangnya dengan pihak m...
Twitter Gugat Elon Musk, Menuntutnya Bertanggung Jawab Menyelesaikan Perjanjian Akuisisi
Kamis, 14 Juli 2022 - 09:09 WIB
Twitter telah menggugat Elon Musk dengan tuntutan agar bertanggung jawab menyelesaikan akuisisi per...
Presiden Sri Lanka Melarikan Diri Bersama Istrinya ke Maladewa
Kamis, 14 Juli 2022 - 09:09 WIB
Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, telah meninggalkan negara itu tak lama setelah pengunjuk ras...
Presiden Jokowi Akhiri Rangkaian Lawatan, Fokus pada Krisis Pangan dan Misi Perdamaian Rusia-Ukraina
Selasa, 12 Juli 2022 - 11:02 WIB
Presiden Indonesia Joko Widodo mengakhiri perjalanannya ke Ukraina dan Rusia, mendorong pemulihan k...
Kota Leeton di Pedalaman Australia Membuka Diri untuk Pendatang dan Pencari Suaka
Selasa, 12 Juli 2022 - 11:02 WIB
Ketika ayah Ali Mehdi, seorang migran asal Pakistan, meninggal pada tahun 2017, dia mulai mencari ne...
Tiga Orang Tewas dalam Penembakan di Pusat Perbelanjaan di Denmark
Selasa, 12 Juli 2022 - 11:02 WIB
Perdana Menteri Denmark mengatakan penembakan di sebuah pusat perbelanjaan di Kopenhagen adalah &quo...
Warga Migran Berpikir untuk Meninggalkan Australia Karena Kenaikan Biaya Hidup
Selasa, 12 Juli 2022 - 11:02 WIB
Kenaikan harga kebutuhan di Australia telah membuat para migran berpikir dua kali tentang apakah mas...

InfodariAnda (IdA)

Elshinta
CGTN INDONESIA

PM Kamboja temui Wang Yi