Harga Sayuran Seperti Selada Sedang Tinggi di Australia, Diperkirakan Berlanjut Sampai Beberapa Bulan
Elshinta
Sabtu, 11 Juni 2022 - 00:34 WIB | Penulis : Mitra Elshinta Feeder
Harga Sayuran Seperti Selada Sedang Tinggi di Australia, Diperkirakan Berlanjut Sampai Beberapa Bulan
ABC.net.au - Harga Sayuran Seperti Selada Sedang Tinggi di Australia, Diperkirakan Berlanjut Sampai Beberapa Bulan

Konsumen di Australia mendapatkan peringatan untuk terbiasa dengan burger yang menggunakan kubis atau harus rela membayar burger dengan selada yang sekarang harganya sekitar Rp100 ribu.

Menurut kalangan industri harga sayuran bisa dengan cepat naik namun biasanya memerlukan waktu yang lebih lama untuk turun kembali karena para petani sekarang dihadapkan pada cuaca buruk.

Anthony Joseph, seorang eksportir buah dan sayuran, mengatakan bahwa musim basah di Queensland tenggara saat ini membuat petani di sana kehilangan produk yang mereka tanam dan kesulitan untuk melakukan perencanaan karena suhu yang tetap dingin sekarang ini.

"

"Produk seperti daun bayam muda atau wombok naik tiga sampai empat kali lipat dibandingkan sebelumnya," katanya.

"

Anthony yang menjadi manajer pelaksana Alfred E. Chave di Brisbane mengatakan bahkan banjir di bulan Februari lalu berpengaruh terhadap persiapan lahan, sehingga menurutnya membuat pasokan ke pasar terganggu selama empat sampai enam minggu terakhir.

Banjir di bulan Februari kemudian diikuti dengan hujan deras yang menerpa Lembah Lockyer, salah satu pusat produksi tanaman selada, yang ketika itu hampir siap dipanen, sehingga menghancurkan seluruh tanaman yang ada.

Menurut Anthony, cuaca dingin yang sedang melanda Australia selama beberapa pekan terakhir juga membuat petani kesulitan untuk melakukan penanaman segera guna mengisi kekosongan pasar.

"

"Yang sangat mengkhawatirkan adalah adanya sistem suhu udara tekanan tinggi saat kita memasuki musim dingin sehingga kita akan melihat suhu yang rendah di mana-mana," katanya.

"

"Yang ada adalah lahan kita basah dan dingin. Tanaman tidak akan bisa tumbuh dalam kondisi seperti ini."

Kapan harga akan turun?

Kombinasi antara tanaman yang rusak karena hujan dan kesulitan melakukan penanaman karena cuaca yang dingin membuat pedagang pengumpul seperti Anthony Joseph memperkirakan bahwa kurangnya produk sayur dan buah segar ini akan terus berlanjut selama beberapa bulan mendatang.

Carlo Trimboli direktur pelaksana Samson's Fruit and Vegetable Supply mengatakan sepanjang ketersediaan produk segar ini tidak banyak sementara permintaan tetap tinggi, maka harga pun akan tetap tinggi.

Dia memperkirakan produksi sayuran dan buah segar sekarang turun sekitar 80 persen.

"Sekarang keadaannya memang kritis," katanya.

"

"Harga produk segar sedang tinggi tetapi jumlah pasokan yang biasanya normal ke sistem pasar dan kemudian disebarkan ke pedagang juga sangat berkurang."

"

Jadi menurutnya bila ada yang berpikiran bahwa sekarang ini petani maupun pedagang mendapat  keuntungan karena tingginya harga, kenyataan sebenarnya adalah harga tinggi karena banyak petani tidak  memiliki produk untuk dijual.

"Jadi tidak ada yang sebenarnya diuntungkan," katanya.

"Itulah kenyataan sebenarnya."

"Harga memang tinggi dan beberapa petani mungkin mendapatkan keuntungan karena harga tinggi namun jumlah yang mereka jual berkurang karena banyak juga ladang pertanian yang tidak bisa melakukan panen sama sekali."

Di dekat kota Stanthorpe di Queensland selatan, keluarga Gasparin adalah tiga laki-laki bersaudara yang mengelola lahan bersama  dan mengatakan belum pernah mereka melihat harga sayuran yang tinggi seperti saat ini.

Andrew Gasparin mengatakan sayuran seperti bunga kol, wombok, dan selada sekarang harganya A$10 per bonggol (sekitar Rp100 ribu atau A$80 per kotak.

Walau mungkin konsumen merasa kenaikan ini seperti tiba-tiba, dia mengatakan harga ini sudah naik sejak beberapa bulan terakhir.

"Kami mungkin menjual dengan rata-rata A$40 per kotak sepanjang musim ini" katanya.

"Biasanya di musim normal, harganya sekitar A$20 per kotak."

Namun Gasparin brothers sama seperti banyak petani lainnya mengatakan musim tanam kali ini tidaklah mudah.

"

"Kami mengalami selama berhari-hari berjalan di lahan memotong sayuran mengenakan sepatu boot, berjalan di tengah lumpur dan traktor yang tersendat karena lumpur," katanya.

"

"Kami memang mendapatkan penghasilan hampir dua kali dari apa yang kami dapat sebelumnya, namun harga kami harus naik karena harga komoditas kami juga naik.

"Sudah terjadi kenaikan harga pupuk, bahan bakar, dan bahkan harga material untuk pengepakan juga naik menjadi 70 sen per unit.'

Ongkos produksi meningkat juga disebabkan karena faktor global seperti perang di Ukraina, sehingga Andrew Gasparin tidak mengetahui kapan harga barang-barang yang harus dibelinya ini turun.

"Kami tidak tahu kemana arahnya bergerak sekarang ini," katanya.

"

"Sekarang bukan musim panen, dan keluarga saya, kami tetap membeli buah dan sayur, dan kami merasakan harga yang tinggi juga."

"

"Bahkan untuk ke musim berikutnya, lahan kami sekarang ini sangat basah, saya tidak tahu bagaimana harus mempersiapkan lahan untuk penanaman berikutnya bila tetap seperti ini. Kami tidak bisa melakukan persiapan kalau lahannya tidak siap.

"Di masa depan, harga kami akan lebih tinggi lagi."

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

DISCLAIMER: Komentar yang tampil sepenuhnya menjadi tanggungjawab pengirim, dan bukan merupakan pendapat atau kebijakan redaksi Elshinta.com. Redaksi berhak menghapus dan atau menutup akses bagi pengirim komentar yang dianggap tidak etis, berisi fitnah, atau diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan.
Baca Juga
 
Populasi India Diprediksi akan Lampaui China, Menjadikannya Negara Terpadat di Dunia 2023
Kamis, 14 Juli 2022 - 09:09 WIB
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan, populasi India akan melampaui China pada 202...
Terkait Manuver China di Pasifik, Menhan Australia Peringatkan Koalisi AS-Australia Tidak Bisa Tinggal Diam
Kamis, 14 Juli 2022 - 09:09 WIB
Menteri Pertahanan Australia, Richard Marles, menyerukan kerja sama yang lebih erat dengan Amerika S...
Kisruh Dugaan Penyelewengan Dana ACT, Ini Tanggapan Pengelola Dana Kompensasi Korban Boeing
Kamis, 14 Juli 2022 - 09:09 WIB
Senin dan Selasa kemarin (12/07) Bareskrim Polri telah memeriksa mantan pemimpin organisasi filant...
Kapal Selam Nuklir China Terus Membuntuti Kapal Perang Australia karena Dituding Memasuki Wilayahnya
Kamis, 14 Juli 2022 - 09:09 WIB
Departemen Pertahanan Australia menolak untuk menjelaskan pertemuan kapal perangnya dengan pihak m...
Twitter Gugat Elon Musk, Menuntutnya Bertanggung Jawab Menyelesaikan Perjanjian Akuisisi
Kamis, 14 Juli 2022 - 09:09 WIB
Twitter telah menggugat Elon Musk dengan tuntutan agar bertanggung jawab menyelesaikan akuisisi per...
Presiden Sri Lanka Melarikan Diri Bersama Istrinya ke Maladewa
Kamis, 14 Juli 2022 - 09:09 WIB
Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, telah meninggalkan negara itu tak lama setelah pengunjuk ras...
Presiden Jokowi Akhiri Rangkaian Lawatan, Fokus pada Krisis Pangan dan Misi Perdamaian Rusia-Ukraina
Selasa, 12 Juli 2022 - 11:02 WIB
Presiden Indonesia Joko Widodo mengakhiri perjalanannya ke Ukraina dan Rusia, mendorong pemulihan k...
Kota Leeton di Pedalaman Australia Membuka Diri untuk Pendatang dan Pencari Suaka
Selasa, 12 Juli 2022 - 11:02 WIB
Ketika ayah Ali Mehdi, seorang migran asal Pakistan, meninggal pada tahun 2017, dia mulai mencari ne...
Tiga Orang Tewas dalam Penembakan di Pusat Perbelanjaan di Denmark
Selasa, 12 Juli 2022 - 11:02 WIB
Perdana Menteri Denmark mengatakan penembakan di sebuah pusat perbelanjaan di Kopenhagen adalah &quo...
Warga Migran Berpikir untuk Meninggalkan Australia Karena Kenaikan Biaya Hidup
Selasa, 12 Juli 2022 - 11:02 WIB
Kenaikan harga kebutuhan di Australia telah membuat para migran berpikir dua kali tentang apakah mas...

InfodariAnda (IdA)