Sinektika
Cerita Penyintas Covid-19: Bayu Hamzah, Jakarta
Elshinta
Rabu, 03 Februari 2021 - 11:33 WIB | Penulis : Administrator
Cerita Penyintas Covid-19: Bayu Hamzah, Jakarta
Nama :
Bayu Hamzah
Profesi :
-

Di penghujung tahun 2020, Covid-19 menyerang keluarga kami.

Oktober - November 2020, drama Covid di rumah saya dimulai, pengasuh anak bayi saya terdeteksi positif Covid-19, walau membuat panik dan repot mengurus beliau serta anak-anak dimana kami sambil bekerja, namun Alhamdulillah keluarga lain di rumah hasil tesnya negatif.

Analisa kami, virus mungkin berasal dari kami yang bekerja di luar rumah, lalu terbawa ke rumah dan kebetulan imunitas pengasuh bayi kami sedang dalam kondisi lemah.

Desember 2020, belum selesai menarik napas lega selesainya perawatan pengasuh dan belum rangkum dari mana asal covid yang bisa menular ke dia, kami mendapat cobaan kembali.

Dimulai dari istri saya yang sepertinya mulai ada gejala flu serta kehilangan fungsi penciuman, dan badan saya yang juga mulai demam. Mengingat istri saya yang sudah masuk kantor dan di rumah ada bayi serta mertua yang lansia, kami (suami istri) memutuskan untuk melakukan tes swab pada tanggal 28 Desember (walau istri saya sudah tes antigen tanggal 23 Desember dan hasilnya negatif).

Tanggal 29 Desember, hasil tes swab keluar. Ketakutan kami pun terjadi. Kami berdua positif Covid-19, dari RSPJ Cempaka Putih, Jakarta Timur kami langsung diarahkan ke RSPP Kebayoran, Jakarta Selatan. 

Tiba di depan UGD hati kami ciut melihat orang bertumpukan sampai di luar, antri untuk ditindak di UGD (seperti ikan asin yang dijemur di pinggir jalan di Sumatera),

bersamaan dengan itu saya mendaftar online tes swab untuk keluarga di rumah (bayi, anak 10 tahun, mertua, dan pengasuh) yang diantar ayah saya, serta menginformasikan ke dokter kantor dan atasan saya (bersyukur mereka sangat baik dan support).

Setelah berhasil mendaftar di UGD, kami diminta menunggu untuk dilakukan scanning lab darah dan foto paru (berharap baik-baik saja, sehingga kami hanya perlu isolasi), proses ini memakan waktu berjam-jam, dan hasilnya leukosit saya nilainya kurang bagus serta istri ada flek di paru, sehingga dokter menyarankan untuk perawatan, tapi beliau tidak bisa menjanjikan, karena kamar perawatan yang penuh di semua rumah sakit. Kami hanya bisa pasrah mengikuti saran dokter sambil merasa ciut karena banyak orang yang sudah tiga hari antri di UGD, dan baru dapat kamar.

Berjam-jam duduk di luar UGD bersama puluhan pasien lain yang belum ter-handle, Alhamdulillah kami cukup beruntung karena akhirnya dipanggil untuk bersiap dipindah ke RSPP ext. Simprug, Jakarta Selatan.

Diantar menggunakan ambulance, saya dan istri duduk di belakang sambil berpegang tangan erat layaknya pengantin baru, melihat pemandangan malam di luar warna merah biru akibat cahaya sirine. Namun pikiran kami hanya dihantui ketakutan hasil tes anggota keluarga lain di rumah, yang hasilnya baru keluar besok.

Sesampainya di RSPP Simprug, kami ditempatkan di ruang modullar (khusus pasien yang perlu perawatan) dan kamar kami terpisah (walau sudah request ke suster agar bisa bersama dalam satu kamar, karena kami pasangan yg tak terpisahkan :)

Keesokan harinya, hasil tes swab keluarga lain di rumah keluar, dan Alhamdulillah hasilnya negatif semua. (Kami sangat bersyukur atas hasil ini, sehingga kami bisa lebih fokus untuk penyembuhan kami).

Di kamar, saya bersama lima orang pasien lain. Ada perawat ICU yang terpapar covid, anak seorang perawat, dan dua orang bapak yang baik hati.

Banyak sharing pengalaman yang kami dapat, tentunya perihal covid.

1. (Pasien pertama) Perawat ICU yang terpapar covid, dia sudah tidak bisa pulang dan cuti setahun lamanya karena kurangnya tenaga medis, ditambah banyak petugas yang terpapar covid. Di ICU RSPP setiap beberapa jam orang yang dirawatnya meninggal, (sebagian besar karena telatnya dirawat dan covid memperparah penyakit bawaan) menjadi pemandangan sehari-hari baginya, melihat orang yang sakaratul maut.

2. (Pasien kedua) Anak perawat yang terkena usus buntu dan belum dapat dioperasi karena dia positif tertular ayahnya yang seorang perawat, sesekali dia menangis kesakitan menahan penyakitnya yang belum bisa dituntaskan, karena harus menunggu sampai dia negatif covid.

(Kita memang harus memberikan apresiasi sebesar-besarnya untuk perawat dan dokter yang banyak sekali berkorban di garda terdepan). Kami berdua merasa sangat bersalah, bukannya meringankan malah menambah beban para petugas dan dokter. Teringat pesan para petugas kesehatan dan dokter diiklan: "Biar kami yang bertugas, Anda semua tolong di rumah saja."

3. (Pasien ketiga) Bapak berusia 50 tahun yang terpapar hanya karena mengobrol selama lima menit dengan pengantar surat di kantor yang sepertinya punya gejala flu dan tidak memakai masker, setelah itu dia merasa gejala positif covid, sesak nafas. Bapak itu antri tiga hari di UGD, masuk ICU sepuluh hari dengan alat bantu oksigen, baru sekarang ke ruang perawatan tingkat sedang.

Dan masih banyak lagi cerita lain yang mengerikan tentang virus ini, yang terus menyebar dan memakan korban.

Di kamar perawatan ini, sesama seperjuangan, kami cukup kompak dan saling menguatkan, kami sholat berjamaah tepat waktu, walau beberapa orang melakukan sholat dari tempat tidur.

Dan tentunya, "Happy New Year.." kami merayakan malam tahun baru dengan saling mengucapkan sambil memegang infus masing-masing, menelepon keluarga dan TIDUR!!!

Gejala yang saya alami saat perawatan adalah beberapa kali terasa demam dan kendala pengobatan hanyalah injeksi infus yang agak menyiksa. Sedangkan istri saya kehilangan fungsi penciuman, dia pun mengungkapkan betapa seharusnya kita sangat bersyukur saat seluruh organ kita masih berfungsi baik.

Tanggal 12 Januari, saya dipindahkan ke tempat isolasi penderita positif dengan kategori sudah tidak ada keluhan, hingga akhirnya Alhamdulillah pada tanggal 16 -17 Januari hasil tes swab saya negatif, dan tanggal 18 Januari saya diperbolehkan pulang ke rumah.

Pelajaran dari keluarga saya yang perlu saya share adalah, mungkin saja kita semua sebenarnya telah terpapar covid, mengingat mudahnya penularan virus ini, namun kita masih terlindungi oleh imunitas kita yang saat itu masih kuat.

Bayangkan, di luar sana masih sangat banyak orang tanpa gejala (OTG) yang belum sadar bahwa mereka positif covid, karena tidak ada gejala atau belum sempat tes swab, dan bisa menularkan ke diri kita, lalu kita membawa virus itu ke rumah atau ke tempat orang lain yang imunitasnya lemah.

Di luar sana masih banyak masyarakat yang tidak peduli protokol kesehatan, bahkan tidak percaya dengan adanya covid ini (mungkin mereka harus melihat bagaimana perjuangan tumpukan orang di beberapa UGD rumah sakit yang menunggu kamar karena semuanya penuh, atau melihat mobil jenazah yang hilir mudik dari kamar pasien covid.

Bahkan kami dengar berita, ada yang meninggal di jalan karena ditolak oleh sepuluh rumah sakit.

Berkembangnya korban virus dan beban tenaga medis menjadi semakin berat dan pesat, karena "kesadaran masyarakat serta kebijakan pejabat publik tidak sejalan dengan tingkat berkembangnya penderita disetiap wilayah."

Sebaiknya kita tidak perlu paranoid terhadap wabah ini, tetapi juga jangan terlalu takabur merasa selalu beruntung dan kuat.

Jaga diri sendiri, cintai keluarga, ikuti prokes, peduli orang lain dan selalu berdoa karena kita tidak punya kuasa apapun selain karena izin Allah SWT.

Bersyukurlah buat yang hanya memiliki masalah bosan di rumah karena pandemi ini. Di luar sana sudah banyak orang yang kehilangan pekerjaan dan berjuang melawan penyakit ini di tubuhnya.

Tetap semangat dan sehat. Semoga kita semua selalu dalam lindunganNya. Aminn..

 

Seperti yang diceritakan oleh Bayu Hamzah kepada Radio Elshinta dalam acara “Cerita Penyintas Covid-19” pada 31 Januari 2021.

DISCLAIMER: Komentar yang tampil sepenuhnya menjadi tanggungjawab pengirim, dan bukan merupakan pendapat atau kebijakan redaksi Elshinta.com. Redaksi berhak menghapus dan atau menutup akses bagi pengirim komentar yang dianggap tidak etis, berisi fitnah, atau diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan.
Baca Juga
 
Fenomena sosial dalam teori kritis Max Horkheimer sebagai kekuatan produktif Masyarakat Technology di lingkungan kampus
Senin, 26 Juni 2023 - 10:11 WIB
Hubungan sosial dalam kapitalis menjelajah di sektor pendidikan tingkat perguruan tinggi, ragam tekn...
Membangun ekonomi kreatif melalui sineas lokal
Jumat, 27 Mei 2022 - 13:19 WIB
Dalam bulan Mei 2022 ini, ada fenomena menarik dalam industri perfilman di Indonesia. Di waktu yang ...
Meningkatkan proses pembelajaran siswa melalui penilaian transformatif
Kamis, 21 Oktober 2021 - 13:45 WIB
Penilaian dan umpan balik berjalan beriringan karena keduanya mengarah pada titik temu penting yang ...
Memandang masalah sebagai proses spiritual
Rabu, 11 Agustus 2021 - 16:28 WIB
Sesungguhnya modal dasar untuk menjalani kehidupan ini adalah pada kerangka berpikir atau paradigma ...
Jika konten adalah raja, lalu siapa rakyatnya?
Rabu, 03 Maret 2021 - 23:46 WIB
Di dunia maya, tersebutlah negara-negara kerajaan yang bernama YouTube, Facebook, Instagram, Twitter...
Cerita Penyintas Covid-19: Bayu Hamzah, Jakarta
Rabu, 03 Februari 2021 - 11:33 WIB
Di penghujung tahun 2020, Covid-19 menyerang keluarga kami. Oktober - November 2020, drama Covid ...
Bangkitlah Indonesia sekarang juga, jangan tunggu vaksin
Minggu, 17 Mei 2020 - 14:00 WIB
Meski berada di dalam penjara, namun Siti Fadilah Supari, mantan Menteri Kesehatan di era Presiden S...

InfodariAnda (IdA)