Elshinta.com - 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa berhasil menduduki Gedung DPR/MPR di Jakarta menuntut pelaksanaan sidang istimewa. Momen penting dalam pergerakan mahasiswa yang kala itu menuntut Soeharto berhenti dari jabatan presiden setelah 32 tahun berkuasa.
Pergerakan mahasiswa serta elemen masyarakat terhadap Rezim Orde Baru yang muak dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sebenarnya sudah nampak beberapa tahun sebelumnya. Sebagian besar dilakukan para aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) hingga kemudian mereka ditangkapi.
Kemudian pada 1998, saat badai krisis semakin menghantam perekonomian Indonesia, gelombang pergerakan mahasiswa kembali membesar. Mahasiswa di berbagai daerah menggelar unjuk rasa di kampus masing-masing. Pada 18 Mei, mahasiswa dari berbagai elemen menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR. Aksi sudah dipusatkan di sana. Kala itu, MPR masih menjadi lembaga tertinggi, yakni pemberi mandat kepada presiden. Mahasiswa ingin ada sidang istimewa dengan agenda pencabutan mandat presiden oleh MPR.
Sekitar pukul 11.00 WIB, sebagian mahasiswa dipersilakan masuk untuk berbicara dengan anggota DPR ihwal tuntutan mereka. Namun, mahasiswa yang lain ingin pula masuk ke dalam. Baru pada pukul 13.00 WIB, mereka baru berhasil masuk ke dalam. Dari berbagai kampus dan elemen, ribuan mahasiswa lalu membanjiri Gedung DPR/MPR. Lagu-lagu perjuangan dinyanyikan. Bendera Merah Putih dikibarkan. Yel-yel diteriakkan.
Selain mahasiswa, hadir pula sejumlah tokoh, antara lain WS Rendra, Solichin GP, Sri Edi Swasono, Ali Sadikin, YB Mangunwijaya dan beberapa lainnya. Amien Rais juga ada di sana lantaran tengah mengadakan audiensi dengan Komisi II DPR.
Ketua DPR minta Soeharto mundur
Ketua DPR kala itu, Harmoko dikenal sebagai orang yang dekat dengan Soeharto. Sebelum menjadi pimpinan parlemen, dia adalah Menteri Penerangan.
Harmoko juga disebut-sebut sebagai salah satu orang yang kerap meminta Soeharto untuk kembali menjadi presiden. Walhasil, Soeharto kembali menjabat mulai Maret 1998 sebagai hasil Pemilu 1997.
Namun, ketika mahasiswa berhasil menduduki gedung parlemen, Harmoko menunjukkan gelagat sebaliknya. Dia meminta Soeharto mundur dari jabatan presiden. Pernyataan Harmoko tersebut sontak menjadi sorotan karena selama ini dikenal sebagai orang dekat dan selalu mendukung Soeharto.
"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan Dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko saat konferensi pers di Gedung DPR/MPR pada 18 Mei silam.
Tak seperti Harmoko, Panglima ABRI kala itu, yakni Wiranto masih mendukung Soeharto. Dia menyatakan bahwa pernyataan Harmoko tidak mewakili semua fraksi yang ada di DPR/MPR alias ucapan pribadi.
Meski Harmoko sudah meminta Soeharto mundur, mahasiswa tak langsung lega dan meninggalkan gedung parlemen. Ada sebagian yang pergi, namun tidak sedikit yang memilih untuk bertahan.
Sumber: cnnindonesia.com